Ketika Rasulullah berada di hadapan,
Ku pandangi pesonanya dari kaki hingga ujung kepala
Tahukah kalian apa yang terjelma?
Cinta!
(Abu Bakar Shiddiq r.a)
Gua Tsur.
Wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar.
Tak terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para
pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar.
“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti
melihat kita berdua”. Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung
sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar “Janganlah engkau kira, kita hanya berdua.
Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan
maha, Allah”.
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan
keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki
tampan yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana
semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama.
Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam
mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan
darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap
jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad.. mereka membunuh
Muhammad.
***
Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban
mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya
dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia
mencintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan jauh, seketika
seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan
penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Dan seperti
anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang
dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan
kedua pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak
tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah. Masih dalam senyap, Abu Bakar
terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah
asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu Bakar yang sangat dekat. Abu
Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika
wajahnya muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama
Madinah seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji
mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu
bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu
semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di
sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Bakar menyandarkan
punggung di dinding gua. Rasulullah, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba
saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu
Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan
berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur
nyaman Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih itu.
Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak
bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur
tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam.
Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi
Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya
terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini”
suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” potong Abu Bakar masih
dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu
cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak
“Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” jawab Abu Bakar sendu. Sebenarnya ia kini
menyesal karena tidak dapat menahan air matanya hingga mengenai pipi Rasulullah dan
membuatnya terjaga.
Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Al-Musthafa berkabut dan
bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah.
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya
Allah sebaik-baik pemberi balasan”. Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-
Musthafa meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah
pencipta semesta, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha suci Allah,
seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi
masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia indah seperti mu.
Bagaimana mungkin?” nyaring hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah
berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya.
Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
***
Kita pasti tahu siapa Abu Bakar. Ia adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan juga salah
satu sahabat terdekat Rasulullah. Dari lembar sejarah, kita kenang cinta Abu Bakar kepada Al-
Musthafa menyemesta. Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah berhijrah menuju
Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga malam. Menemani Nabi untuk berhijrah
adalah perjalanan penuh rintang. Ia sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya jika misi
ini gagal. Namun karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu besar, Abu Bakar
dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi pergi.
Dia terkenal karena teguh pendirian, berhati lembut, mempunyai iman yang kokoh dan
bijaksana. Kekokohan imannya terlihat ketika Madinah kelabu karena satu kabar, Nabi yang
Ummi telah kembali kepada Yang Maha Tinggi. Banyak manusia terlunta dan larut dalam lara
yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak mempercayai kenyataan yang ada. Saat itu
Abu Bakar tampil mengingatkan seluruh sahabat dan menggaungkan satu khutbah yang
mahsyur “Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah meninggal dunia.
Dan sesiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati”.
Kepergian sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam dadanya. Ketiadaan Rasulullah,
jua tak memadamkan gebyar semangat untuk terus menegakkan pilar-pilar Islam yang telah
dipancangkan. Pada saat menjabat khalifah pertama, ia dengan gigih memerangi mereka yang
enggan berzakat. Tidak sampai di situ munculnya beberapa orang yang mengaku sebagi nabi,
sang khalifah juga berlaku sama yaitu mengirimkan pasukan untuk mengajak mereka kembali
kepada kebenaran. Sesungguhnya pribadi Abu Bakar adalah lemah lembut, namun ketika
kemungkaran berada dihadapannya, ia berlaku sangat tegas dalam memberantasnya.
Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang atas bangsa Romawi di Yarmuk
berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim. Sebelum wafat, ia menetapkan Umar
sebagai penggantinya. Jenazahnya dikebumikan di sebelah manusia yang paling dicintainya,
yaitu makam Rasulullah. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di sana, namun selanjutnya
manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga, terus
saja mengharumkan sejarah sampai detik sekarang. Ia mencintai Nabinya melebihi dirinya
sendiri. Tidakkah itu mempesona?